Pengadilan HAM

PENGERTIAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam rangka penegakan HAM mengalami kendala karena di dalam konstitusinya tidak diatur secara lengkap. Meskipun di dalam UUD 1945 ketentuan yang mengatur tentang HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghalangi penegakan HAM karena sudah ditunjang dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan peraturan perundangan lainnya.

MACAM-MACAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pePelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM meliputi :

  1. kejahatan genosida;

  2. kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

  1. Membunuh anggota kelompok;

  2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

  3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

  4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

  5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan Kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :

  1. pembunuhan;

  2. pemusnahan;

  3. perbudakan;

  4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

  5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

  6. penyiksaan;

  7. perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

  8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

  9. penghilangan orang secara paksa; atau

  10. kejahatan apartheid.

(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)

Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

Penghilangan Orang Secara Paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam UUD 1945 pasal-pasal tentang HAM sangat minim, namun hal itu dapat tertutupi dengan lahirnya Undang-undang antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang mencantumkan ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Dalam Pembukaan UUD 45 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Orang yang melakukan pelanggaran HAM baik penguasa maupun rakyat biasa harus diadili oleh suatu tribunal yang berwenang, yakni pidana internasional yang mempunyai jurisdiksi. Hukuman terhadap kejahatan HAM bisa berupa hukum mati, seumur hidup, dan penjara maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun.

Dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui pengadilan perlu diciptakan kondisi sosial politik yang kondusif untuk mentaati asas-asas dalam pelaksanaan peradilan yang bebas, adil dan tidak memihak demi terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan tegaknya supremasi hukum

Analisis Tentang Pengadilan HAM

Kebijakan dalam mengambil keputusan politik harus memiliki komitmen yang tinggi untuk penegakan dan perlindungan HAM. Komitmen tersebut harus diwujudkan dengan jalan menciptakan kebijakan berkesinambungan dalam bentuk langkah konkrit terencana (action plan) dengan tujuan yang jelas dan terukur, dari keberhasilan dan kegagalannya.

Melakukan review terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan dan kebijakan eksekutif dari perspektif HAM dan selanjutnya mengambil kebijakan untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan HAM.

Melakukan audit terhadap perundang-undangan yang belum sempurna dan merumuskan peraturan perundang-undangan yang baru dalam rangka penegakan dan perlindungan HAM.

Melakukan ratifikasi instrumen HAM internasional ke dalam sistem hukum nasional sepanjang tidak bertentangan dengan nilai agama, budaya, kepribadian dan kepentingan nasional bangsa Indonesia

Meningkatkan intensitas dan kualitas sosialisasi HAM, baik bagi pejabat maupun aparat penegak hukum yang bersifat lintas sektoral, baik ditingkat pusat maupun daerah, agar ada kesepahaman makna dan hakekat HAM dan penegakannya.

Dalam merumuskan kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya harus memperhatikan substansi dari Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sebagian besar telah diadopsi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Kebijakan dan sosialisasi HAM kepada masyarakat harus memajukan dan melindungi hak-hak kelompok agar sederajat dengan kelompok masyarakat yang lain dengan sasaran pola pikir dan budaya yang menghargai pluralisme dan kesetaraan seperti makna semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”